Oleh : Linda Sari
Lelaki yang tangguh itu adalah bapakku.
Pagi hingga sore adalah waktu yang harus dilakukan dengan menjual keringat.
Panasnya matahari tidak masalah baginya, kulitnya sudah kebal dengan panasnya
tusukan cahaya itu.
Terkadang secara tidak sengaja aku
melihat gurat lelah pada wajahnya. Bekas cahaya juga semakin jelas menempel
pada wajahnya. Belum lagi malam, sekiranya ada yang bisa dilakukan maka
dilakukan dengan segera. Jika tidak, maka bersama kamilah tempat bapak berbagi
bahagia.
Rasanya, bapak tidak pernah ada rasa
lelah. Bahkan pasa setiap malam yang kami lalui ketika bapak tidak ada kerjaan,
bapak mengisi ruang hidup kami dengan candaan yang membuat kami terkenang. Kami
bahagia oleh cara bapak yang sebenarnya sederhana itu.
Jikalau mau seperti kebanyakan orang
yang kaya yang pernah aku dengar, mungkin bapak tidak mungkin hanya mengajak
canda bagi kami. Tapi itu sudah cukup bagi kami, kami ingin yang sederhana,
akan tetapi aura kebahagian selalu membekas dan akan terkenang selamanya.
Idealnya bapakku pulang kerja pada
pukul 05.20 wib. Ketika kedatangannya aku dan adik-adikku merasa gembira. Aura
penyejuk hati telah hadir di tengah-tengah kami. Kami merasakan itu setiap
hari, hingga pada akhirnya entah kenapa bapakku pun akhirnya berhenti bekerja.
Aku yang saat itu belum terlalu besar belum mengetahui perihal pekerjaan.
Setiap hari pun aku terus mengurusi
adik-adik kecilku di rumah. Senang rasanya memiliki bahagia yang ramai dan
selalu dalam aura kegembiraan, meskipun kami dalam kekurangan dalam hal
ekonomi. Tapi ekonomi bukanlah sebuah standar untuk membangun keluarga yang
bahagia.
Bahagia itu sederhana, cukup melihat orang-orang yang berada
di sekitar kita tersenyum itu sudah membuat hati juga tersenyum dan bahagia.
Setelah beberapa lama bapakku tidak
bekerja, hingga pada suatu hari ada orang baik yang mengajak bapak untuk
bekerja. Saat itu, yang kutahu bapak hanya ingin bekerja tanpa memperhatikan
apapun resikonya. Dan satu lagi yang menjadi pertimbangan bapak dalam bekerja
adalah pekerjaan yang halal yang hasilnya akan mengalir pada darah
anak-anaknya, termasuk aku. Selang beberapa hari, aku mengetahui bahwa bapakku
bekerja untuk mengangkut batu di dekat SDN 22 Tanjung Raja. Sekolah tempatku
menimba ilmu.
Ternyata pekerjaan mengangkut batu
setiap hari membuat bapakku terlihat jelas gurat kelelahannya. Lama-kelamaan
bapak menyadari bahwa dirinya tidak mampu lagi jika terus bekerja mengangkut
batu. Sehingga bapak memutuskan untuk berhenti bekerja dan mengurusi adik-adik
yang belum terlalu besar itu. Sedangkan ibuku bekerja di sawah. Mengurusi
kebun.
Usia terus mengabarkan kelelahan bapak.
Sering batuk-batuk dan wajah tuanya semakin jelas terlihat. Bapak coba kuat
menjalani kehidupan, akan tetapi Allah telah lebih dulu mengajak bapak untuk di
sisi-Nya. Bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Pada saat yang sama,
datanglah rombongan dari panti asuhan datang ke rumah ketika aku menangis dan
melihat bapak dikuburkan.
“Bapak...bapak.” kataku sambil
menangis.
“Jangan menangis lagi, bapakmu sudah
dikuburkan.” kata seseorang dari dusun kami.
“Ibu, bagaimana dengan ibu. Bapak tidak
ada lagi di rumah. Siapa yang akan mengurusi aku dan adik-adik?” kataku sambil
menangis.
“Sudahlah Linda, kau kan sudah kelas
enam dan janganlah kau ingati lagi karena bapak sudah meninggal, nak.” kata
ibuku sambil mengusap air mata.
Ketika aku mau pulang ke rumah, ibuku
memanggilku. Aku disuruh duduk di depan Mama—sebutan untuk ibu pengurus panti
asuhan.
“Linda, mau tidak tinggal di panti?
Disitu banyak ayuk yang baik-baik.” ujar Mama yang matanya juga memerah.
“Tapi aku mau sekolah di sini aja. Aku
tidak mau masuk di panti” kataku sambil menangis.
“Linda kelas berapa?” kata Mama lagi.
“Kelas enam?” kataku dengan mata
berkaca-kaca.
“Linda, kau mau Mama sekolahkan di
Meranjat. Bagaimana?”
Waktu bergulir begitu cepat. Tibalah
saatnya aku lulus SD. Dengan segala pertimbangan untuk pendidikanku, akhirnya
aku pun dimasukkan ibuku di panti. Aku pun di sekolahkan di SMPN 1 Indralaya
Selatan yang terletak di Meranjat.
Aku anak ketiga dari tujuh saudara yang
lahir dari rahim ibuku. Aku adalah anak perempuan terakhir yang lahir,
sedangkan keempat adikku semuanya laki-laki. Mereka bernama Doni Damara, Imam
Suryadi, Eko Saputra, dan Rio Ronaldo. Dari keempat adikku, hanya Doni yang
tidak melanjutkan sekolah. Karena tidak kuasa menahan gangguan dari
teman-temannya.
Semenjak aku bersekolah di SMP, aku
memiliki tekad yang besar yaitu menaikkan derajat orang tua dan ingin menaikkan
ibuku haji. Ibuku anugerah terindah yang diberikan Allah kepadaku. Ibu
tersayang yang selalu kurindukan dan yang kusayang. Meskipun aku tidak serumah
lagi, akan tetapi ibu adalah orang tuaku yang selalu di hatiku dan selalu aku
terkenang.
Dalam kesempatan yang kuluangkan di
setiap hari, aku selalu mendo’akan Ibu dan keluarga dengan kebaikan-kebaikan
yang akan menyertai mereka.
“Ibu, aku ingin kamu jangan marah lagi.
Aku sangat rindu dan sayang kepada keluarga ini. Ya Allah ampunilah dosaku
dosa, kedua orang tuaku, dan berikan kelapangan bagi bapak dalam kuburnya.
Izinkan aku juga ya Allah, untuk membahagiakan Mama dan Baba.” Aku menangis
dalam doaku sesudah shalat berjama’ah.
Sebelumnya, bapak sering menyindir atas
raihan prestasiku yang tak pernah muncul. Sulit bagiku menandingi kecerdasan teman-teman
sekolahku. Hingga pada suatu hari, aku harus menelan pahitnya sindiran bapak
meski saat itu aku baru saja meraih juara kedua. Lagipula aku takkan mengelak
atau mengingkarinya lagi. Dan sekarang adalah masa transisi untuk merubah diri
ke arah yang lebih baik. Inilah saatnya, dimanapun aku berada saat ini dan
apapun kondisi keluarga yang kumiliki tak haruslah dirapati, bahkan inilah
sumber inspirasi untuk melahirkan semangat yang mengebu bagiku.
Aku kembali menyusun kisahku dalam
ramuan formula yang lebih seimbang. Aku bosan menunggu jika disuruh menunggu
waktu kesuksesan. Mestinya aku sendiri yang harus berupaya semaksimal mungkin
untuk mengejar kesuksesan itu semua.
Seperti halnya, aku berdiri dan
meratapi hiasan dinding yang tergantung dihadapanku. Sebuah hiasan dari batok
kelapa bertuliskan nama sebuah kota di Kota Metropolitan yang ada di provinsi
Sumatera Selatan, Palembang. Aku menyadari, batok kelapa ini bernilai tinggi
jika berada di tangan yang di tepat. Padahal, ini konsep penting yang harus
diketahui tidak hanya aku, tapi untuk semuanya.
Matahari semakin surut dan
menenggelamkan diri. Malam kini telah menampakkan sejatinya. Sifat seseorang
tidak akan jauh dari orangtuaku. Begitu juga aku. Sifat bapak dan ibu yang
selalu berusaha keras mengalir dalam diriku. Aku ingin seperti mereka dalam hal
usahanya, jika mampu akan melebihi usaha mereka. Pun akhirnya, bisa melahirkan
sebuah kebanggaan baru bagi keluarga yaitu bisa lebih sukses dari keluargaku
sekarang.
Satu hal yang aku selalu idamkan yaitu
ketika pulang ke kampung halaman sudah mampu memberikan warna yang beda.
Tentunya dengan memberikan kontribusi tidak hanya kepada keluarga, akan tetapi
juga kepada kampung halaman yang akan terkenang karena banyak cerita yang sudah
dilalui sejak kecil. Ya, sejak aku bayi dan bapakku masih terus memberikan
kebahagiaan kepada kami.
Mendung yang menemani beberapa waktu
terakhir adalah sebuah transisi untuk menuju ke ruang akan akan selalu menebar
cahaya. Ya, akulah cahaya itu. Aku akan menerangi siapa saja. Tentunya, usaha
mestilah kulakukan sebisa dan sekuat mungkin. Semua itu Allah-lah yang
mengetahui dan mengizinkan segala keinginanku.
ж ж ж
Tidak ada komentar:
Posting Komentar