Selasa, 27 Mei 2014

Cahaya Setelah Mendung


Oleh : Linda Sari

Lelaki yang tangguh itu adalah bapakku. Pagi hingga sore adalah waktu yang harus dilakukan dengan menjual keringat. Panasnya matahari tidak masalah baginya, kulitnya sudah kebal dengan panasnya tusukan cahaya itu.

Terkadang secara tidak sengaja aku melihat gurat lelah pada wajahnya. Bekas cahaya juga semakin jelas menempel pada wajahnya. Belum lagi malam, sekiranya ada yang bisa dilakukan maka dilakukan dengan segera. Jika tidak, maka bersama kamilah tempat bapak berbagi bahagia.

Rasanya, bapak tidak pernah ada rasa lelah. Bahkan pasa setiap malam yang kami lalui ketika bapak tidak ada kerjaan, bapak mengisi ruang hidup kami dengan candaan yang membuat kami terkenang. Kami bahagia oleh cara bapak yang sebenarnya sederhana itu.


Jikalau mau seperti kebanyakan orang yang kaya yang pernah aku dengar, mungkin bapak tidak mungkin hanya mengajak canda bagi kami. Tapi itu sudah cukup bagi kami, kami ingin yang sederhana, akan tetapi aura kebahagian selalu membekas dan akan terkenang selamanya.

Idealnya bapakku pulang kerja pada pukul 05.20 wib. Ketika kedatangannya aku dan adik-adikku merasa gembira. Aura penyejuk hati telah hadir di tengah-tengah kami. Kami merasakan itu setiap hari, hingga pada akhirnya entah kenapa bapakku pun akhirnya berhenti bekerja. Aku yang saat itu belum terlalu besar belum mengetahui perihal pekerjaan.

Setiap hari pun aku terus mengurusi adik-adik kecilku di rumah. Senang rasanya memiliki bahagia yang ramai dan selalu dalam aura kegembiraan, meskipun kami dalam kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi ekonomi bukanlah sebuah standar untuk membangun keluarga yang bahagia.

Bahagia itu sederhana, cukup melihat orang-orang yang berada di sekitar kita tersenyum itu sudah membuat hati juga tersenyum dan bahagia.

Setelah beberapa lama bapakku tidak bekerja, hingga pada suatu hari ada orang baik yang mengajak bapak untuk bekerja. Saat itu, yang kutahu bapak hanya ingin bekerja tanpa memperhatikan apapun resikonya. Dan satu lagi yang menjadi pertimbangan bapak dalam bekerja adalah pekerjaan yang halal yang hasilnya akan mengalir pada darah anak-anaknya, termasuk aku. Selang beberapa hari, aku mengetahui bahwa bapakku bekerja untuk mengangkut batu di dekat SDN 22 Tanjung Raja. Sekolah tempatku menimba ilmu.

Ternyata pekerjaan mengangkut batu setiap hari membuat bapakku terlihat jelas gurat kelelahannya. Lama-kelamaan bapak menyadari bahwa dirinya tidak mampu lagi jika terus bekerja mengangkut batu. Sehingga bapak memutuskan untuk berhenti bekerja dan mengurusi adik-adik yang belum terlalu besar itu. Sedangkan ibuku bekerja di sawah. Mengurusi kebun.

Usia terus mengabarkan kelelahan bapak. Sering batuk-batuk dan wajah tuanya semakin jelas terlihat. Bapak coba kuat menjalani kehidupan, akan tetapi Allah telah lebih dulu mengajak bapak untuk di sisi-Nya. Bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Pada saat yang sama, datanglah rombongan dari panti asuhan datang ke rumah ketika aku menangis dan melihat bapak dikuburkan.

“Bapak...bapak.” kataku sambil menangis.

“Jangan menangis lagi, bapakmu sudah dikuburkan.” kata seseorang dari dusun kami.

“Ibu, bagaimana dengan ibu. Bapak tidak ada lagi di rumah. Siapa yang akan mengurusi aku dan adik-adik?” kataku sambil menangis.

“Sudahlah Linda, kau kan sudah kelas enam dan janganlah kau ingati lagi karena bapak sudah meninggal, nak.” kata ibuku sambil mengusap air mata.

Ketika aku mau pulang ke rumah, ibuku memanggilku. Aku disuruh duduk di depan Mama—sebutan untuk ibu pengurus panti asuhan.

“Linda, mau tidak tinggal di panti? Disitu banyak ayuk yang baik-baik.” ujar Mama yang matanya juga memerah.

“Tapi aku mau sekolah di sini aja. Aku tidak mau masuk di panti” kataku sambil menangis.

“Linda kelas berapa?” kata Mama lagi.

“Kelas enam?” kataku dengan mata berkaca-kaca.

“Linda, kau mau Mama sekolahkan di Meranjat. Bagaimana?”

Waktu bergulir begitu cepat. Tibalah saatnya aku lulus SD. Dengan segala pertimbangan untuk pendidikanku, akhirnya aku pun dimasukkan ibuku di panti. Aku pun di sekolahkan di SMPN 1 Indralaya Selatan yang terletak di Meranjat.

Aku anak ketiga dari tujuh saudara yang lahir dari rahim ibuku. Aku adalah anak perempuan terakhir yang lahir, sedangkan keempat adikku semuanya laki-laki. Mereka bernama Doni Damara, Imam Suryadi, Eko Saputra, dan Rio Ronaldo. Dari keempat adikku, hanya Doni yang tidak melanjutkan sekolah. Karena tidak kuasa menahan gangguan dari teman-temannya.

Semenjak aku bersekolah di SMP, aku memiliki tekad yang besar yaitu menaikkan derajat orang tua dan ingin menaikkan ibuku haji. Ibuku anugerah terindah yang diberikan Allah kepadaku. Ibu tersayang yang selalu kurindukan dan yang kusayang. Meskipun aku tidak serumah lagi, akan tetapi ibu adalah orang tuaku yang selalu di hatiku dan selalu aku terkenang.

Dalam kesempatan yang kuluangkan di setiap hari, aku selalu mendo’akan Ibu dan keluarga dengan kebaikan-kebaikan yang akan menyertai mereka.

“Ibu, aku ingin kamu jangan marah lagi. Aku sangat rindu dan sayang kepada keluarga ini. Ya Allah ampunilah dosaku dosa, kedua orang tuaku, dan berikan kelapangan bagi bapak dalam kuburnya. Izinkan aku juga ya Allah, untuk membahagiakan Mama dan Baba.” Aku menangis dalam doaku sesudah shalat berjama’ah.

Sebelumnya, bapak sering menyindir atas raihan prestasiku yang tak pernah muncul. Sulit bagiku menandingi kecerdasan teman-teman sekolahku. Hingga pada suatu hari, aku harus menelan pahitnya sindiran bapak meski saat itu aku baru saja meraih juara kedua. Lagipula aku takkan mengelak atau mengingkarinya lagi. Dan sekarang adalah masa transisi untuk merubah diri ke arah yang lebih baik. Inilah saatnya, dimanapun aku berada saat ini dan apapun kondisi keluarga yang kumiliki tak haruslah dirapati, bahkan inilah sumber inspirasi untuk melahirkan semangat yang mengebu bagiku.

Aku kembali menyusun kisahku dalam ramuan formula yang lebih seimbang. Aku bosan menunggu jika disuruh menunggu waktu kesuksesan. Mestinya aku sendiri yang harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengejar kesuksesan itu semua.

Seperti halnya, aku berdiri dan meratapi hiasan dinding yang tergantung dihadapanku. Sebuah hiasan dari batok kelapa bertuliskan nama sebuah kota di Kota Metropolitan yang ada di provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Aku menyadari, batok kelapa ini bernilai tinggi jika berada di tangan yang di tepat. Padahal, ini konsep penting yang harus diketahui tidak hanya aku, tapi untuk semuanya.

Matahari semakin surut dan menenggelamkan diri. Malam kini telah menampakkan sejatinya. Sifat seseorang tidak akan jauh dari orangtuaku. Begitu juga aku. Sifat bapak dan ibu yang selalu berusaha keras mengalir dalam diriku. Aku ingin seperti mereka dalam hal usahanya, jika mampu akan melebihi usaha mereka. Pun akhirnya, bisa melahirkan sebuah kebanggaan baru bagi keluarga yaitu bisa lebih sukses dari keluargaku sekarang.

Satu hal yang aku selalu idamkan yaitu ketika pulang ke kampung halaman sudah mampu memberikan warna yang beda. Tentunya dengan memberikan kontribusi tidak hanya kepada keluarga, akan tetapi juga kepada kampung halaman yang akan terkenang karena banyak cerita yang sudah dilalui sejak kecil. Ya, sejak aku bayi dan bapakku masih terus memberikan kebahagiaan kepada kami.

Mendung yang menemani beberapa waktu terakhir adalah sebuah transisi untuk menuju ke ruang akan akan selalu menebar cahaya. Ya, akulah cahaya itu. Aku akan menerangi siapa saja. Tentunya, usaha mestilah kulakukan sebisa dan sekuat mungkin. Semua itu Allah-lah yang mengetahui dan mengizinkan segala keinginanku.
ж ж ж

Tidak ada komentar:

Posting Komentar